Beranda | Artikel
Puncak Akhlak Islam: Lebih Mendahulukan Orang Lain Atas Dirinya Sendiri
Kamis, 26 Maret 2015

Untuk bisa seperti ini perlu berjiwa besar dan perlu dilatih serta butuh keimanan yang kuat bahwa apa yang ia korbankan dan mengalah di dunia, maka balasan di akhirat jauh dan jauh lebih baik. Perlu diingat juga, bukan mengorbankan diri sampai membinasakan diri. Karena ini dilarang oleh syariat.

Allah Ta’ala memerintahkan agar kita meniru kaum Anshar yang mendahulukan kaum Muhajirin diatas kepentingan mereka walaupun mereka juga membutuhkan hal tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

 “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9)

Jika kita membaca bagaimana sejarah islam mengenai mendahulukan saudaranya. Maka ini ibarat dongeng yang mungkin kita katakan akan mustahil terjadi di zaman ini. Abdurrahman bin ‘Auf ketika beliau dipersaudarakan dengan penduduk Anshar yaitu Saad bin Rabi’ (ketika itu, untuk memperat hubungan antara Muhajirin dan Anshar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka satu dengan yang lain)

Saad bin Rabi’ dan penduduk Anshar lainnya paham benar bahwa kaum muhajirin meninggalkan harta dan keluarga mereka di Mekkah sehingga mereka tidak memiliki apa-apa ketika sampai di madinah dan juga mereka aslinya adalah para pedagang dan belum mempunyai ilmu bercocok tanam sebagaimana Orang Madinah .

Sa’ad pun berkata kepada Abdurrahman, “Wahai saudaraku, sesungguhnya aku adalah di antara penduduk Madinah yang terkaya, aku memiliki dua kebun dan dua istri. Lihatlah salah satu dari dua kebun itu yang terbaik hingga akan aku berikan kepadamu dan lihatlah salah satu istriku yang engkau suka maka aku akan ceraikan dia lalu engkau bisa menikahinya”. Namun, Abdurrahman bin ‘Auf menjawab tawaran baik saudaranya, “Tidak, semoga Allah memberkahimu, harta, dan juga keluargamu. Tetapi tunjukkan saja aku di mana letak pasar kalian”. Lalu ditunjukkan kepada beliau, kemudian beliau bekerja dan berdagang, dan dapat mengais Rizki Allah yang melimpah.

 

Hikmah yang bisa diambil adalah Abdurrahman bin ‘Auf tidak “aji mumpung” dan “memanfatkan kesempatan. Beliau juga punya harga diri dan ingin makan dengan hasil jerih payah sendiri. Berikut kisah lanjutannya:

Tidak berselang lama, Abdurrahman bin ‘Auf telah meminang seorang wanita Anshar lalu menikahinya, kemudian beliau datang menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam dengan wangi-wangian khas pengantin. Maka Rasulullah bertanya keheranan, “Ada apa ini?” Ia menjawab, “Aku baru saja menikahi wanita Anshar.” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam bertanya lagi, “Berapa besar mahar yang engkau berikan?” Ia menjawab, “Seukuran satu nawat emas.” Lalu terucaplah dari bibir Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam sebuah sunnah dari ummat ini di hari yang paling bahagia, yang sunnah itu akan tetap hingga hari kiamat, “Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.”

 

Kemudian kisah lain yang dinuikl oleh Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya, beliau berkata,

أن رجلا بات به ضيف فلم يكن عنده إلا قوته وقوت صبيانه، فقال لامرأته: نومي الصبية وأطفئي السراج وقربي للضيف ما عندك، فنزلت هذه الآية ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة

“Ada seorang yang kedatangan tamu yang hendak menginap, ia tidak mempunyai makanan kecuali makanan untuk anak-anaknya. Maka ia katakan kepada istrinya, “tidurkanlah anak-anak, matikan lampu dan sajikan makanan untuk tamu kita. Maka turunlah ayat “Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri sangat membutuhkan/dalam kesusahan.”Jami’ Liahkamil Qur’an 24/18, Darul Kutub Al-Mishriyyah, Koiro, 1384 H, syamilah)

 

Dan masih banyak kisah lainnya yang sangat menyentuh hati dan menyindir kita. Kita yang sedang santai saja atau tidak membutuhkan serta tidak susah, sangat malas atau enggan membantu orang lain apalagi mendahulukan orang lain. Kita bisa lihat beberapa kenyataan di masyarakat kita, orang sudah mulai mementingkan diri sendiri. Rasa sosial itu sudah hampir punah. Misalnya:

-Ada nenek tua atau orang cacat di bus atau kereta dibiarkan berdiri oleh orang sehat dan muda yang duduk

-Ada yang kesusahan malah cuek dan tidak mau membantu

-Ada orang atau bahkan tetangga yang sakit tidak mau menjenguk

 

Yang perlu diperhatikan juga bahwa mendahulukan orang lain ini hanya pada masalah dunia, adapun masalah akhirat dan agama, maka dia tidak boleh mendahulukan orang lain. Misalnya:

-Sebaiknya jangan mempersilahkan orang lain agar mengisi shaf di depannya, seharusnya ia berlomba agar mendapat shaf terdepan karena keutamaan yang besar

-Sebaiknya jangan mempersilahkan orang lain untuk jadi muadzzin (jika tidak ada muadzzin tetap), karena besarnya pahala orang yang mengumandangkan adzan memanggil manusia untuk shalat.

Hal ini sebagaimana kaidah fikhiyah:

الإِيْثَارُفِي الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ، وَ فِي غَيْرِهاَ مَحْبُوْبٌ

“Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah, dibenci. Namun dalam masalah selain ibadah, disukai”

Demikian semoga bermanfaat

 

@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta

Penyusun:  Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/puncak-akhlak-islam-lebih-mendahulukan-orang-lain-atas-dirinya-sendiri.html